Gambar Sampul SEJARAH · Bab 4 Masa Orde Baru (1966-1998)
SEJARAH · Bab 4 Masa Orde Baru (1966-1998)
Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi

22/08/2021 10:24:27

SMA 12 K-13 revisi 2018

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

103

Sejarah Indonesia

Bab IV

Sistem dan Struktur Politik-

Ekonomi Indonesia Masa

Orde Baru (1966-1998)

Sumber: graphics8.nytimes.com

104

Kelas XII SMA/MA

Peta Konsep

105

Sejarah Indonesia

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari uraian ini, diharap kamu dapat:

1.

Menjelaskan proses transisi yang terjadi antara masa Demokrasi

Terpimpin dengan masa Orde Baru.

2.

Menganalisis beberapa perubahan yang dilakukan pemerintahan

Orde Baru di bidang politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, dan

sosial budaya, setelah masa Demokrasi Terpimpin berakhir.

3.

Mengambil hikmah dari berbagai peristiwa yang terjadi selama

masa pemerintahan Orde Baru.

ARTI PENTING

Mempelajari sejarah masa Orde Baru, kita akan dapat memahami

betapa dalam upaya untuk mengubah situasi negara yang kacau

diperlukan lebih dahulu stabilisasi di berbagai bidang. Hanya saja kran

demokrasi, sesungguhnya juga harus dijaga. Dalam hal pembangunan,

kita juga harus mengakui ada banyak keberhasilan di bidang ini, yang

dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Meniadakan begitu saja

keberhasilan tersebut sama saja kita tak mengakui pencapaian positif

yang telah diraih Indonesia hingga saat ini. Bagaimanapun sejarah

merupakan perjalanan yang terus berlanjut dan berkesinambungan.

106

Kelas XII SMA/MA

Sumber: kampoengue.blogspot.com

Gambar 4.1 Taman Mini Indonesia Indah

Miniatur pulau-pulau dalam gambar di atas terdapat di Taman Mini

Indonesia Indah (TMII). TMII dibangun tahun 1975 pada masa pemerintahan

Orde Baru.

Di dalam TMII kita dapat melihat “Indonesia kecil” yang digambarkan

melalui beragam bentuk keanekaragaman masyarakat dan budaya Indonesia

sebagai cermin persatuan Indonesia sebagaimana terungkap dalam semboyan

Bhinneka Tunggal Ika. TMII mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan

bangsa sebagai modal pembangunan nasional yang menjadi program utama

Orde Baru. Hal ini sesuai dengan cita-cita proklamasi untuk mewujudkan

masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Orde Baru adalah suatu sistem pemerintahan yang hendak menerapkan

tatanan kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Orde ini

lahir setelah terjadinya tragedi nasional pada tahun 1965.

Mengapa Orde Baru dapat bertahan selama 32 tahun? Karena Orde

Baru mampu menciptakan dan memelihara stabilitas sosial politik dengan

mewujudkan pembangunan nasional yang dirancang secara bertahap dan

berkesinambungan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Untuk menjawabnya, mari kita gunakan Peta Konsep sebagaimana

digambarkan di atas sebagai kerangka berpikir untuk menjelaskan periode

Orde Baru ini.

Mengamati Lingkungan

107

Sejarah Indonesia

A. Masa Transisi 1966-1967

1. Aksi-Aksi Tritura

Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke

kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan

dari peristiwa Gerakan 30 September

1965 atau G 30 S/PKI. Ini merupakan

peristiwa yang menjadi titik awal

berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno

dan hilangnya kekuatan politik PKI dari

percaturan politik Indonesia.

Peristiwa tersebut telah menimbulkan

kemarahan rakyat. Keadaan politik dan

keamanan negara menjadi kacau, keadaan

perekonomian makin memburuk dimana

inflasi

mencapai

600% sedangkan

upaya

pemerintah melakukan devaluasi rupiah

dan kenaikan menyebabkan timbulnya

keresahan masyarakat.

Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang

seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/

PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut

dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-

pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI,

KAMI, KAPI), kemudian muncul pula

KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI

(wanita), KAGI (guru) dan lain-lain.

Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan

gigih menuntut penyelesaian politis yang

terlibat G 30 S/PKI, dan kemudian pada

tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan

barisan mereka dalam satu front, yaitu

Front Pancasila.

Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang

menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus

ke arah konflik

politik

makin bertambah

panas oleh keadaan

ekonomi

yang

Memahami Teks

RESIMEN CAKRABIRAWA

Resimen Cakrabirawa

merupakan kesatuan

pasukan gabungan dari TNI

Angkatan Darat, Angkatan

Laut, Angkatan Udara dan

Kepolisian yang bertugas

khusus menjaga keamanan

Presiden RI pada zaman

pemerintahan Soekarno.

Sayangnya, sebagian anggota

resimen ini kemudian berhasil

dipengaruhi PKI dan ikut

terlibat dalam peristiwa

Gerakan 30 September 1965.

Di antara mereka yang

terlibat, adalah Letkol Untung

Syamsuri, salah seorang

komandan Cakrabirawa yang

justru menjadi pemimpin G30S/

PKI saat melakukan penculikan

terhadap para perwira tinggi

AD pada dini hari tanggal 1

Oktober 1965.

Pada zaman pemerintahan

Soeharto, resimen ini

dibubarkan. Untuk mengawal

Presiden, dibentuk kemudian

kesatuan baru Paspampres

(Pasukan Pengamanan

Presiden)

108

Kelas XII SMA/MA

semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong

para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat yang lebih

dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Pada 12 Januari 1966

dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung

dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan

yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/

PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI

ternyata tidak dipenuhi presiden. Untuk menenangkan rakyat, Presiden

Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100

Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena di dalamnya

masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI.

Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Februari 1966,

para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana

Merdeka.

Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan

bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang

menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief

Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada

tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang

Malaysia (Kogam), yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.

Sumber: Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005

Gambar 4.2 Aksi Tritura di depan Fakultas Kedokteran UI

Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis

kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh

mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran”

yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan

perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya

massa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Aksi-aksi tersebut, krisis

nasional makin tidak terkendalikan.

109

Sejarah Indonesia

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila,

dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran

KAMI. Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan

mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik

gedung Departemen Luar Negeri. Selain itu, mereka juga membakar kantor

berita Republik Rakyat Cina (RRC),

Hsin Hua

. Aksi para demonstran tersebut

menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga presiden

mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa waspada

terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan

supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun

tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau

kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim

serta proyek “British Malaysia”.

2. Surat Perintah Sebelas Maret

Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret

1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh

para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan

PKI, dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang

menuju ke Istana.

Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen.

Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa

tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam

V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman,

Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.

Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.

Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor

dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena,

yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.

Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen. Basuki

Rahmat, Brigjen. M Jusuf, dan Brigjen. Amir Machmud, yang juga mengikuti

sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor.

Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada atasannya

yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang juga

merangkap selaku panglima Kopkamtib. Pada waktu itu Letnan Jenderal

Soeharto sedang sakit sehingga diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga

perwira itu disetujuinya. Mayjen. Basuki Rachmat menanyakan apakah ada

pesan khusus dari Letjen. Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto

menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau

akan mengerti”

110

Kelas XII SMA/MA

Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di

Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan

G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno dengan Letjen. Soeharto terjadi

perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik

saat itu. Menurut Letjen. Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum

rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan

jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya

Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI

karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan

ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham

itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk

membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden. Pesan

Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan

berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.

Sumber : Deppen, 1975

Gambar 4.3 Tiga Jenderal yang

membawa Surat Perintah Sebelas

Maret (Supersemar) dari Soekarno

ke Soeharto

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan

Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena, dan Dr. Chaerul

Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut

bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen. Sabur, kemudian

diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen. Soeharto untuk

memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah dibahas bersama,

akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian

terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau

Supersemar.

Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku

Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan

dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas, penerima mandat

diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat itu kemudian

dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar

dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah

menerima Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI

111

Sejarah Indonesia

beserta organisasi massanya yang bernaung

dan berlindung ataupun seasas dengannya

di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal

12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat

dukungan dari rakyat, karena dengan

demikian salah satu di antara Tritura telah

dilaksanakan.

Selain itu Letjen. Soeharto juga

menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa

untuk kembali ke sekolah. Tindakan

berikutnya berdasarkan Supersemar adalah

dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5

tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan

15 orang menteri yang diduga terkait

dengan pemberontakan G 30 S/PKI ataupun

dianggap memperlihatkan iktikad tidak baik

dalam penyelesaian masalah itu.

Demi lancarnya tugas pemerintah,

Letjen. Soeharto mengangkat lima orang

menteri koordinator

ad interim

yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima

orang tersebut ialah Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik. Dr. Roeslan

Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.

3.

Dualisme Kepemimpinan Nasional

Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang

mengarah pada dualisme kepemimpinan. Di satu pihak Presiden Soekarno

masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno

dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak

agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato

pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto

setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan

sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam

pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai

pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet,

yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi

pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi

seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”,

Ada beberapa faktor yang

melatar belakangi lahirnya

Supersemar, di antaranya:

1.

Situasi negara secara

umum dalam keadaan

kacau dan genting

2.

Untuk mengatasi situasi

yang tak menentu akibat

pemberontakan G 30 S/

PKI.

3.

Menyelamatkan Negara

Kesatuan Republik

Indonesia

4.

Untuk memulihkan

keadaan dan wibawa

pemerintah.

112

Kelas XII SMA/MA

yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai

pelaksana pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan

tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto

banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya “Dualisme

kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik

dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan

pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan

bangsa.

Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal

Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap)

MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum

Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno.

Bahkan, secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan

Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.

Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif

Soekarno selaku presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin

Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri

masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang

diberi judul “Nawaksara”.

Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato

“Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa

Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah.

Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting

oleh Presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya

sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi

pada tanggal 30 September 1965. Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan

gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota

MPRS. Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk

minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggungjawabannya,

khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September

beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.

Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada

pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara). Dalam

Pelnawaksara itu Presiden mengemukakan bahwa Mandataris MPRS hanya

mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara

dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai

progress

report

yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang

diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September,

kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

113

Sejarah Indonesia

Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama

Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan

pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan

stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet tersebut antara lain adalah

memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan

melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/

MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin

Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian

dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal

Soeharto.

Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap

Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari

1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar

mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu, usaha-usaha untuk menenangkan

keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan

pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada

pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto

sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di

kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi

Presiden Soekarno.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno

dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri

dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme kepemimpinan inilah

yang menjadi

sumber

konflik

politik

yang tidak kunjung

berhenti.

Mr. Hardi

menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non

aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.

Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat

Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang

Surat Perintah 11 Maret 1966.

Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada

7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan

konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden

bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa

draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut

tidak membantu

menyelesaikan

situasi konflik.

Kesimpulan

itu disampaikan

Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden

menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft

berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan

kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada awalnya Presiden

114

Kelas XII SMA/MA

Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian

sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta

Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari

1967. Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari

draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan

pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden

Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat

Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution.

Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden

Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V

MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan

sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil

pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan

nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.

PENGAYAAN

Jelaskan hikmah apa yang dapat diambil dari

adanya dualisme kepemimpinan dalam politik

Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI. Kaitkan

pendapatmu dengan sebab-sebab kemunculan

dan penyelesaian yang akhirnya terjadi!

Sumber: Deppen, 1975

Gambar 4.4 Soekarno dan Soeharto

TUGAS

Buatlah esai tentang kondisi Indonesia yang menyebabkan terjadinya

aksi Tritura, seperti yang tercermin dalam tuntutan Tritura !

B.

Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi

Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan

Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal

Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah

pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh.

Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde

Baru.

115

Sejarah Indonesia

Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru

mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang telah

ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas

Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas Ekonomi (Tap MPRS

No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966).

Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah

terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Di

antara penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis

(Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS,

maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan

Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi

politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi

tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan

rakyat Indonesia.

Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi Polkam, pemerintah

Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan

yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (

security approach

), termasuk

di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi

sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah.

Seiring dengan itu, dibentuk lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib

(pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus

1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970).

Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang,

pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-

Oldefos dan “Poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang” ke politik

luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri

pun diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat.

Hal itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat

Supersemar tanggal 4 April 1966, beliau menyatakan bahwa Indonesia akan

menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada

kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia

akan ditujukan pada perluasan kerja sama ekonomi dan keuangan antara

Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kerja sama itu

menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.

Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali

hubungan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu

akibat kebijakan konfrontasi Indonesia 1963-1966. Di samping itu, sejak

116

Kelas XII SMA/MA

28 September 1966, Indonesia kembali aktif di forum Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar

dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia,

Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi kerja sama regional

ASEAN (

Association of South East Asian Nation

) di Bangkok 8 Agustus

1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama

regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.

1.

Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan

Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan

nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama

melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk

Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I

dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:

1)

Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak

berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun

(Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);

2)

Menyusun dan merencanakan Repelita;

3)

Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;

4)

Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan

mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk

r o n g r o n g a n

penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;

dan

5)

Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh

aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur

komunisme.

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi

terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu

melaksanakan pemilihan umum (Pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan

‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai

berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah.

Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok

Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan kelompok Islam fundamentalis (yang

sering disebut kaum ekstrim kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga

menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih

mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan

Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.

117

Sejarah Indonesia

Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera

melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan

politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga

Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah

koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan

melalui Keputusan Presiden No. 23 tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat

keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam

pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah

Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah

Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

(IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971

adalah sebagai berikut: Golkar (236 kursi; 62,82%), NU (58 kursi;18,68%),

Parmusi (24 kursi; 5,56%), PNI (20 kursi; 6,93%), PSII (10 kursi; 2,39%), dan

Parkindo (10 kursi; 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan

penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus

pada masa “Demokrasi Parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai

dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah

permasalahan. Penyebabnya bukan hanya karena persaingan antarparpol,

melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya

tidak jarang memicu timbulnya krisis. Bahkan perpecahan yang dinilai bisa

mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu

adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi

Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu yang

sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan

berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun, adanya tekanan pemerintah

menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang

Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua

partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi

Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi,

Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara

itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo),

Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua

kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber

Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan

DPR dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).

118

Kelas XII SMA/MA

Partai Peserta Pemilu 1971

Hasil Fusi Partai 1973

(Peserta Pemilu Hingga Tahun 1997)

Partai NU (Nahdlatul Ulama)

Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)

PPP (Partai Persatuan Pembangunan)

Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiah)

PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia)

PNI (Partai Nasional Indonesia)

Partai Katholik

Parkindo (Partai Kristen Indonesia)

PDI (Partai Demokrasi Indonesia)

Partai Murba

IPKI (Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia)

Golkar (Golongan Karya)

Golkar (Golongan Karya)

Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan

pula konsep “massa mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang

atau ranting di tingkat kecamatan sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol

ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai

negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).

Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan

pemilihan umum sebanyak enam kali yang

diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun

1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971

diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460

orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih

dan 100 orang diangkat.

Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde

Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan

oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde

Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan

penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (Pegawai

Negeri Sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI).

Partai Golkar

PPP (1973-1984)

119

Sejarah Indonesia

Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah

mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar.

Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar

secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan

ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan

dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri

sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan

dukungan Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, Golkar

dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai

tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas

sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa.

Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru

menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia

sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu

tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung,

Umum, Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan

dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan.

Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya

mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan

pengerahan Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, serta

anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar.

Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan

partai politik) di tingkat kecamatan dan desa (di mana partai-partai politik

dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi

juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa

Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) tahun 1974.

PPP (1984-1997)

PDI (1973-1977)

Sumber: Diolah dari

berbagai sumber

Gambar 4.5

Lambang Golkar,

PPP, dan PDI

Peristiwa 15 Januari 1974

Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari

1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang

disusul dengan aksi anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah

toko milik pedagang Tionghoa di Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada,

Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena aksi tersebut. Geger

Jakarta ini mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintah, karena

itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang populer dengan

Malari (R.P Soejono ed, 2009:637).

120

Kelas XII SMA/MA

Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung

dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak

awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas

Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk

melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut

pemberantasan korupsi. Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk

meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum

kaya. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan

program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat

pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada

investor Jepang, dinilai merugikan rakyat.

Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri

Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa

memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi menyampaikan

tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa

berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-

boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani,

Asisten Pribadi (Aspri) Presiden.

Kemudian setelah PM Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa

berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut

pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi.

Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar

tidak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil

Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan,

pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar

(Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan

dan 45 orang di antaranya dipenjara.

Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang

petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan dalam Rangka Pembinaan Kehidupan

Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang. Kegiatan kemahasiswaan

difokuskan pada bidang penalaran seperti diskusi dan seminar.

Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan

kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai

road map

idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen

bangsa ke dalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi

Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar

stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan

beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.

121

Sejarah Indonesia

Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat

memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira

makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya

stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan

pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.

Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa

Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan

negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara

yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi

segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan

negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.

Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan

politik. Stabilitas nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya

pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk

terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang

dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-

masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal

di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab dalam aspek

apapun tidak dapat ditoleransi.

Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa

awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya

kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan

baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.

2. Stabilisasi Penyeragaman

Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde

Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila.

Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman

Trilogi Pembangunan

1.

Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

2.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

3.

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada

terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

122

Kelas XII SMA/MA

dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan

oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas

Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya

menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di

Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar

pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetya bagi

ikrar tersebut.

Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetya Pancakarsa dengan

maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat,

konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita, yaitu (1) takwa kepada

Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;

(2) mencintai sesama manusia dengan selalu ingat kepada orang lain, tidak

sewenang-wenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara

di atas kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang

sah; (5) suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan

orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gonggong ed, 2005:

159).

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR. Akhirnya,

pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/

MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat

Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai

badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4

(BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi

pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional

dan regional.

Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama

mengenai Demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama

diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.

Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan

yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu

bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem

kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.

Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer

diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah

menengah sampai Perguruan Tinggi diharuskan mengikuti penataran P4 yang

dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik.

123

Sejarah Indonesia

Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada

masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan” (SARA). Menurut

pemerintah Orde Baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia

yang sering menjadi

penyebab

timbulnya

konflik

atau kerusuhan

sosial. Oleh

karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan

dengan SARA. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir

seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran

dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang

berkaitan

dengan

masalah

sara. Meskipun

demikian,

akhirnya

konflik

yang

bermuatan SARA itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun 1992 misalnya,

terjadi konflik

antara kaum muslim

dan nonmuslim

di Jakarta

(Ricklefs,

2005:

640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan,

kritik datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan

pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa

muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada presiden agar

masalah P4 ditinjau kembali.

Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol

yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai

satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas

tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam

pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru, Riau,

tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps

Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.

Gagasan asas tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup

keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer

ternama. Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden

Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR.

Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan

MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah

dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang

menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila

sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17

Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang

ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus

mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak

ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.

Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “Bhinneka Tunggal Ika”,

dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan,

termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan

pemerintah Orde Baru.

124

Kelas XII SMA/MA

3.

Penerapan Dwi fungsi ABRI

Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan

semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan

lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia,

baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam

rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”

Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas

mereka tidak hanya dalam bidang Hankam namun juga non-Hankam. Sebagai

kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur

pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan sosial,

ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat

yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan

kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.

Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan

bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer

Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada

era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang

tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang

politik terlihat

lebih signifikan

seiring

dengan

diangkatnya

Presiden

Soeharto

oleh MPRS pada tahun 1968.

Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang politik pada masa Orde

Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah

dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, serta DPD tingkat provinsi dan

kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi

anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung

jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR

tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain

itu, para anggota ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam

pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di

seluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke daerah-daerah terpencil, salah

satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer

dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa

mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan.

Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan

golongan tersendiri.

125

Sejarah Indonesia

Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui

Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat

simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9

September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam

Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan

daerah tingkat II jabatan Ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu,

terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar

(pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali

militer.

Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat

dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut

serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah

besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan

ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka

mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol

DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara

Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta

adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi

peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer)

mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan

oleh MPR.

Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI.

Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan

pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri,

bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain

dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama

Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang

menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada

waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk, diperkenankan

mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

TUGAS

Buatlah peta konsep (mind mapping)

mengenai “Stabilisasi Politik

Pemerintahan Orde Baru”.

126

Kelas XII SMA/MA

4.

Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi Polkam diperlukan untuk

pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang

diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang

konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula

sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga

tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada

akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2.358 Juta dollar AS. Dengan

perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama

adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta),

sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.

Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan

pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan

diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal

nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan

politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-

benar membantu perbaikan ekonomi rakyat.

Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang

dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau

mengendalikan

hiperinflasi

antara lain dengan

menyusun

APBN

(Anggaran

Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu

pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri

sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun

pembangunan ekonomi berikutnya.

Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah

Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan

tim negosiasinya ke Paris, Prancis (

Paris Club

), untuk merundingkan hutang

piutang negara, dan ke London, Inggris (

London Club

) untuk merundingkan

hutang-piutang swasta. Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk

bersahabat dengan negara para donor, pemerintah Orde Baru sebelum

pertemuan

Paris Club

telah mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan

pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar

AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama

pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan

untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya

disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.

127

Sejarah Indonesia

Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah

Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal

Asing (PMA) . Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia

internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde

Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor asing

dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas

mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara

yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka,

selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak

investasi dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka,

lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah

memiliki uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan

nasional.

Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak

hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara

dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga mampu meyakinkan dan

menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang

terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga

konsorsium yang bernama

Inter-Governmental Group on Indonesia

(IGGI).

Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara para negara

yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari

1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan

ini juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan

internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan

Belanda ditunjuk sebagai ketuanya.

Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah

Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri, yaitu dana

masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama–

sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya

agar masyarakat mau menabung.

Upaya lain adalah menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri

(UUPMDN) No.6/1968. Satu hal dari UUPMDN adalah adanya klausal yang

menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam negeri,

perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk

menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan

pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas

menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan

Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres No.286/1968

128

Kelas XII SMA/MA

badan itu berubah menjadi Tim Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada

Tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal

(BKPM) hingga saat ini.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai

menunjukan

hasil positif.

Hiperinflasi

mulai dapat dikendalikan,

dari 650%

menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan

bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai

pada tahun berikutnya

(1969).

Setelah

itu pada tahun-tahun

berikutnya

inflasi

terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan sampai

8,88%) pada tahun 1971.

TUGAS

Buatlah rangkuman mengenai “Kebijakan Pembangunan Orde Baru”.

Rangkuman kamu akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

5.

Kebijakan Pembangunan Orde Baru

Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan

bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi

politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat

maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan

melalui program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka

Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima

tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka

mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian

upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh

kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan

untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum

dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan

Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan Garis-garis

besar Haluan Negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan

nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan

129

Sejarah Indonesia

dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Adapun Repelita

yang berisi program-program kongkret yang akan dilaksanakan dalam kurun

waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal

pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian

terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994)

menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan

segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup

kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang

Tahap II (1995-2020).

Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep

pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan,

yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada

terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi

yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat

pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi

dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, sejak Pembangunan Lima

Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru

menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: (1) pemerataan pemenuhan

kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2)

pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;

(3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5)

pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi

dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7)

pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8)

pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

a.

Pertanian

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk

infrastruktur Pembangunan Lima Tahun (Pelita), swasembada pangan

merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh

Soeharto. Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan

Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor

pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui

proses pembaruan sektor pertanian. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan

taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan

koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam

tahapan berikutnya.

130

Kelas XII SMA/MA

Sumber : Yayasan Lalita, 1979

Gambar 4.6 Presiden Soeharto turun ke sawah dalam rangka sosialisasi bibit

unggul

Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang

akan menjalankan program-program tersebut. Pembangunan ditekankan

pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan

dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan

meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi

masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah

dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di

sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG).

Kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang

bertujuan memperbaiki produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian

pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan dengan menunjuk

Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dengan membentuk Badan

Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD)

sebagai bagian dari pembangunan nasional. BUUD/KUD melakukan

kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas

dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih, dan

obat-obatan).

Soeharto juga mengembangkan institusi-institusi yang mendukung

pertanian lainnya seperti institusi penelitian seperti BPTP (Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian) yang berkembang untuk menghasilkan

inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah

satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan

Wereng (VUTW).

Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan

pupuk bagi petani. Para petani diberi kemudahan memperoleh kredit

bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin

dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga

131

Sejarah Indonesia

manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi

Khusus,

dan Intensifikasi

Khusus

yang terbukti

mampu

meningkatkan

produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia

adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih

unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik.

Pabrik pupuk yang dibangun antara lain adalah Petro Kimia Gresik di

Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan

Asean Aceh Fertilizer

di Aceh.

Jaringan irigasi teknis dibangun di berbagai daerah dan program pembibitan

ditingkatkan. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai

satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian

penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi

pangan terutama beras.

Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya.

Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan.

BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam program Bimbingan Massal

(Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi

Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus

dikembangkan. Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1973 tentang

Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan

KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4

Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya

menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian

Lapangan (PPL) yang berada di bawah Departemen Pertanian.

Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian

kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan

para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain

program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca,

pemirsa), juga menjadi salah satu program pembangunan pertanian

Orde Baru yang khas. Kelompencapir merupakan wadah temu wicara

langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani,

penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto. Kelompencapir

juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti

oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah sampai tingkat pusat.

Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang pertanian yang

dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan pada

18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia

No.110/Kep/Menpen/1984.

132

Kelas XII SMA/MA

b)

Pendidikan

Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan

pendidikan mengalami kemajuan yang sangat

penting. Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang

pendidikan masa Orde Baru adalah pembangunan

Sekolah Dasar Inpres (SD Inpres), program wajib

belajar dan pembentukan kelompok belajar atau

kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas

kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi

daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan

rendah.

Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 10/1973

tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.

Pelaksanaan tahap pertama program SD Inpres adalah

pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing

memiliki tiga ruang kelas. Dana pembangunan SD

Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak

bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari

sebelumnya.

Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program pembangunan SD Inpres,

hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah dibangun. Sebelum program

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah

gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung

SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi

sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Pembangunan

paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD

baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD

Inpres telah dibangun.

Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah

guru. Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu,

pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Satu juta lebih

guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut. Lonjakan jumlah

guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP.

Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan

Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.

Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada

2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam

sambutan peresmian wajib belajar saat itu, Soeharto menyatakan bahwa

Sumber: Yayasan Lalita,

1979

Gambar 4.7

Presiden Soeharto

saat mengunjungi

kelas di salah satu

SD Inpres

133

Sejarah Indonesia

kebijakannya bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan

adil kepada seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati

pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan setiap anak usia

7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).

Program ini tidak murni seperti kebijakan wajib belajar yang memiliki

unsur paksaan dan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Pemerintah

hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya yang berusia 7-12

tahun ke sekolah. Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana

dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah,

peralatan sekolah, di samping tenaga pengajarnya. Meski program wajib

belajar tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi

anak-anak dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu berupaya

mengatasinya melalui program beasiswa. Untuk itu, kemudian muncul

program Gerakan Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).

Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat

Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996,

Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996

tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak

yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan

Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan

angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi

SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu

menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak

yang ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau

menyelesaikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9

tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga

tingkat SMP. Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok

usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat

dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.

Program wajib belajar telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat

Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka

indikator kualitas pendidikan dasar. Fokus pembangunan pendidikan saat

itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, baru kemudian memerhatikan

kualitas atau mutu pendidikan.

134

Kelas XII SMA/MA

Setelah perluasan kesempatan belajar untuk anak-anak usia sekolah,

sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan

buta aksara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak

penduduk yang buta huruf. Dalam upaya meningkatkan angka melek

huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf

pada 16 Agustus 1978. Cara yang ditempuh adalah dengan pembentukan

kelompok belajar atau ”kejar”.

Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok

masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tutor atau pembimbing

setiap kelompok adalah masyarakat yang telah dapat membaca, menulis

dan berhitung dengan pendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta

dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar disesuaikan dengan kondisi

setiap tempat.

Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik

penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total

jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen

penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun

kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi

hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus

menyusut menjadi 15,9 persen.

c)

Keluarga Berencana (KB)

Pada masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian

pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB).

Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan

pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%.

Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat

Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai

melalui program KB yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN).

Berbagai kampanye mengenai perlunya KB

dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media

massa cetak maupun elektronik. Pada akhir tahun

1970-an sampai akhir tahun 1980-an di Televisi

Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh

acara-acara mengenai pentingnya KB. Baik itu

melalui berita atau acara hiburan seperti drama

dan wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu

nyanyian mars “Keluarga Berencana” ditayangkan

Sumber: Bakosurtanal, 2011

Gambar 4.8 Keluarga

Berencana (Logo)

135

Sejarah Indonesia

hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan di

pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya

KB. Demikian pula dalam mata uang koin seratus rupiah dicantumkan

mengenai KB. Hal itu menandakan bahwa Orde Baru sangat serius dalam

melaksanakan program KB. Slogan yang muncul dalam kampanye-

kampanye KB adalah “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.

Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi

Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia

mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai

hak dasar manusia dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk

sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial.

Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji

oleh UNICEF karena dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan

telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan

kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan mengemukakan

bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya

dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya

masih tinggi.

Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia,

sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia.

Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk

program ini.

d) Kesehatan Masyarakat, Posyandu

Perkembangan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) bermula dari

konsep

Bandung Plan

diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah

pada tahun 1951.

Bandung Plan

merupakan suatu konsep pelayanan

yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif. Tahun 1956

didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu

model pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat pelatihan tenaga.

Kemudian didirikan

Health Centre

(HC) di delapan lokasi, yaitu di

Indrapura (Sumut), Bojong Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari

(Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY, dan Kalimantan Selatan.

Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan program

pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan

Nasional (HKN).

Konsep

Bandung Plan

terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan

seminar konsep Puskesmas. Pada tahun 1968 konsep Puskesmas

ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya

136

Kelas XII SMA/MA

bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B dan

C. Kegiatan Puskesmas saat itu dikenal

dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7,

Basic 13

Health Service

yaitu : KIA,

KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP,

PHN, UKS, UHG, UKJ, Lab, Pencatatan

dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe

Puskesmas menjadi A dan B. Pada

tahun 1977 Indonesia ikut menandatangi

kesepakatan Visi: ”

Health For All By

The Year 2000

”, di Alma Ata, negara

bekas Federasi Uni Soviet, pengembangan

dari konsep ”

Primary Health Care

”.

Tahun 1979 Puskesmas tidak ada pen’tipe’an dan dikembangkan piranti

manajerial perencanaan dan penilaian Puskesmas, yaitu ’

Micro Planning

dan Stratifikasi Puskesmas.

Pada tahun 1984 dikembangkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu),

yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi. Posyandu

dengan 5 programnya, yaitu KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan

Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk

pelayanan ibu hamil. Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi

dan distribusi Vitamin A, Fe, Garam Yodium, dan suplemen gizi lainnya.

Bahkan, Posyandu saat ini juga menjadi andalan kegiatan penggerakan

masyarakat (mobilisasi sosial) seperti PIN, Campak, dan Vitamin A.

Perkembangan Puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru,

salah satu indikatornya adalah semakin baiknya tingkat kesehatan. Pada

sensus 1971 hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk.

Sensus 1980, menunjukkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4 ribu

penduduk.

C.

Integrasi Timor-Timur

Sumber: Deppen, 1975

Gambar 4.10 Guntingan

berita tentang referendum

di Timor-Timur

Sumber: Atlas Nasional Indonesia,

Bakosurtanal, 2011

Gambar 4.9 Puskesmas

137

Sejarah Indonesia

Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari

situasi politik internasional saat itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi

geopolitik kawasan Asia Tenggara saat itu terjadi perebutan pengaruh dua

blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok

Timur (Uni Soviet). Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada

tahun 1975, berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat

bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke

wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya pemerintahan Republik Demokratik

Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa menyebabkan

jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.

Kemenangan komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak langsung

juga membuat khawatir para elit Indonesia (khususnya pihak militer). Pada

saat yang sama di wilayah koloni Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan

secara langsung dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik. Krisis itu

sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah

baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola. Ia telah

melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk

hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.

Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan

kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik

itu adalah: (1)

Uniao Democratica Timorense

(UDT-Persatuan Demokratik

Rakyat Timor) yang ingin merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal UDT

menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian dari Portugal: (2)

Frente

Revoluciondria de Timor Leste Independente

(Fretilin-Front Revolusioner

Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal –Komunis dan ingin segera

merdeka; dan (3)

Associacau Popular Democratica Timurense

(Apodeti-

Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan

Indonesia. Selain itu terdapat dua partai kecil, yaitu Kota dan Trabalhista.

Ketiga

partai tersebut

saling bersaing,

bahkan

timbul

konflik

berupa

perang

saudara.

Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis

Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung dengan Republik

Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat

di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat,

baik secara historis

dan etnis maupun

geografis.

Menurutnya

integrasi

akan

menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu

mendapat respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama

dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya memang merasa khawatir jika

138

Kelas XII SMA/MA

Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis.

Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta-merta menerima begitu

saja keinginan orang-orang Apodeti.

Sumber: Anhar Gonggong dan Musa Asy ‘arie, 2005

Gambar 4.11 Demonstrasi masyarakat Timor-Timur yang menginginkan integrasi

Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah

adanya permintaan dari para pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri

UDT bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista. Keempat partai itu pada tanggal

30 November 1975 di Kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung

dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR

Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik

Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan

wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.

Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan

yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada

Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat

(AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada

masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet yang komunis memang

tengah berlangsung.

Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah

Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur

ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976

tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur.

Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978.

Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke-27 di wilayah negara kesatuan

Republik Indonesia.

139

Sejarah Indonesia

Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan

Australia dengan alasan masing-masing umumnya mendukung tindakan

Indonesia. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis

membuat negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan Australia)

secara diam-diam mendukung tindakan Indonesia. Mereka secara

de facto

dan selanjutnya

de jure

integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia. Akan

tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan

banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya

“Perang Dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.

TUGAS

Setelah berakhirnya “Perang Dingin”, integrasi Timor-Timur ke Indonesia

kembali dipermasalahkan oleh dunia

internasional.

Buat tulisan yang berisi analisis mengenai permasalahan apa saja yang

terjadi di Timor-Timur

sehingga Indonesia

menjadi sorotan di dunia

internasional tersebut.

D.

Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru

Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru

dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil

menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan

ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena

setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya

dapat terlihat secara konkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara

pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri

(swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan

perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi, dan angka

partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.

Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru

juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik.

Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter.

Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya

pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang menyebabkan

timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan sentralistis ditandai

dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah

pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur

140

Kelas XII SMA/MA

pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme

merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

termasuk kehidupan politik.

Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi

yang baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas

yang diinginkan. Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping

agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu

bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan

secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/

DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.

Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan

yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak.

Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu

memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk

bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.

Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan

tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana

tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak

dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber

ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan

sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan

kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.

Selain masalah–masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia

(HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru

telah melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar

HAM. Amnesty International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991

menyebut

Indonesia

dan beberapa

negara Timur Tengah,

Asia Pasifik,

Amerika

Latin, dan Eropa Timur sebagai pelanggar HAM.

Human Development Report

1991 yang disusun oleh

United Nations Development Program

(UNDP) juga

menempatkan Indonesia kepada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar

Gonggong ed, 2005:190).

Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi

dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah

melakukan beberapa tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam

kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat

penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979),

141

Sejarah Indonesia

Peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus.

Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu

berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa, yaitu Peristiwa Penembakan

Misterius –Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984).

Pada kurun 1988-1993, terdapat Peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah

Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991),

Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah

(September 1993). Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi

Peristiwa Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport

(Maret 1996), Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996),

Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).

Dengan situasi politik dan ekonomi seperti di atas, keberhasilan

pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil

meningkatkan

Gross National Product

(GNP) Indonesia ke tingkat US$ 600

di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1.300 perkapita

di awal dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “Bapak

Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna. Meskipun pertumbuhan

ekonomi meningkat, tetapi secara fundamental pembangunan tidak merata

tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi

penyumbang terbesar devisa negara seperti di Riau, Kalimantan Timur dan

Irian Barat/Papua. Faktor inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab

terpuruknya perekenomian Indonesia menjelang akhir tahun 1997.

TUGAS

Carilah informasi dari berbagai sumber

mengenai dampak positif di

berbagai bidang dari kebijakan politik ekonomi pemerintahan Orde Baru

yang hingga masa sekarang masih dinikmati oleh masyarakat Indonesia.

Cari pula berbagai kasus penyimpangan dari kebijakan politik ekonomi

pemerintahan Orde Baru yang hingga kini belum juga ada penyelesaian.

Tuangkan informasi yang kalian dapatkan dalam bentuk esai/makalah.

142

Kelas XII SMA/MA

KESIMPULAN

1.

Pembangunan menjadi prioritas kebijakan pemerintah

Orde Baru. Program berupa Rencana Pembangunan Lima

Tahun menunjukkan adanya pelaksanaan tahap demi tahap

pembangunan yang dilakukan dengan prioritas pembangunan

tertentu.

2.

Agenda pembangunan ini diformulasikan oleh pemerintah Orde

Baru dalam bentuk Trilogi Pembangunan.

3.

Sistem kepartaian disederhanakan oleh pemerintah Orde Baru

sejak awal tahun 1970-an ke dalam tiga partai.

4.

Krisis ekonomi dan tuntutan demokratisasi menjadi alasan

gerakan mahasiswa yang akhirnya menjadikan orde ini diganti

dengan Orde Reformasi.

LATIH UJI KOMPETENSI

1.

Jelaskan tentang fusi partai yang terjadi pada tahun 1973!

2.

Jelaskan tentang konsep Trilogi Pembangunan dan makna yang

terkandung di dalamnya!

3.

Jelaskan perbedaan antara Pemilu yang dilakukan pada masa

Orde Baru dengan masa kini!

4.

Jelaskan, alasan diadakannya referendum di Timor-Timur!